Sabtu, 25 Februari 2017

Warna di Malam Minggu

Malam minggu identik dengan malamnya para pasangan. Gue juga enggak pernah ngerti asalnya dari mana. Mungkin karena besoknya hari minggu alias hari libur, maka dari itulah para pasangan berbondong-bondong pergi ke tempat-tempat gelap. Gue yang mempunyai status sebagai jomblo elegan merasakan pedih yang amat mendalam. Pasalnya gue hanya bisa berdiam diri dirumah. Nulis, denger musik, nonton film bokep horror, main futsal. Ya semua kegiatan itu gue lakukan sendiri di dalam rumah. Berbeda ketika pada saat gue punya pacar dalam beberapa bulan yang lalu. Gue sibuk menampankan diri demi bertemu sang pujaan hati. Yang jelas malam minggu gue kelabu semenjak patah hati.

Tapi setelah patah hati, gue mulai menemukan jati diri kembali. Gue kembali mencari yang tentunya lebih baik dari yang telah mematahkan hati gue pada saat itu. Walau kadang masih belum siap untuk patah hati lagi, tapi jika gue tidak bergerak, gue akan tertinggal jauh olehnya yang mungkin pada saat ini sudah bahagia dengan mantan kesayangannya. Petuah pepatah yang mengatakan “mati satu tumbuh seribu” mulai gue rasakan kebenarannya. Ada beberapa perempuan yang mempunyai respon positif untuk gue ajak jalan. Salah satunya adalah teman mamah gue sendiri.

Gue sontak terkejut bahwa dia adalah teman mamah gue bekerja dahulu, karena saat ini mamah gue sudah lagi tidak bekerja di pabrik. Gue coba menunjukan foto perempuan itu ke mamah gue. Dan ternyata memang benar mamah gue mengenalinya. Sebut saja desi. Dari fotonya ia memang terlihat cantik dengan rambut yang terurai. Senyumnya pun tak kalah manis bak gula jawa yang di jual di pinggir jalan.

Tak kenal maka tak sayang. Tak bertemu maka tak rindu. Sebagai seorang laki-laki yang masuk dalam kategori playboy, gue benar-benar merasa aneh dengan desi. Biasanya, perempuan cantik sepertinya tidak pernah gue lewatkan sejengkalpun dari perhatian. Tapi untuk desi, gue merasa sangat biasa. Memang ada rasa ingin bertemu. Ingin menatap matanya secara langsung. Bahkan bila perlu gue juga ingin berbicara tenang banyak hal dengannya. Tapi desi benar-benar biasa. Gue merasa desi bukan tipe perempuan yang selalu gue sebut dalam do’a.

Dalam beberapa waktu, desi memang kerap menanyakan “kapan kita bertemu?” tapi gue selalu menjawab nanti, nanti, dan nanti. Gue benar-benar seperti kehilangan selera dalam bertemu dengan perempuan. Gue seolah lupa dengan cara membuat janji dengan perempuan. Gue sangat sulit memberi kepastian kepada desi.

Selang dua minggu pasca perkenalan via sosmed, desi kelihatan sedang sakit. Ia di kabarkan tidak masuk kerja sehari. Ini sebenarnya moment gue dalam mengambil kesempatan untuk menjenguknya sekaligus bertemu dengannya.

“sakit apa des?” tanya gue tanpa basa-basi sekaligus memulai chat

“biasa nih. Lagi di kerokin ini juga” desi membalas

“oh yaudah GWS ya des. Banyak istirahat. Biar bisa kerja lagi terus kita maen deh. Ehehehe” balas 
gue dengan memberi harapan

“haha iya iya. Makasih. Yaudah gua mau istirahat dulu yaw” balas desi sekaligus menutup chat kami

Sejujurnya gue ingin membalas “masama des” namun gue dikalahkan oleh ego sendiri. Akhirnya pesan itu hanya gue hapus dan kembali menaruh handphone di kasur. Gue kembali mengatur rencana untuk bertemu dengan desi. Gue terpaksa harus menemuinya karena tidak ingin di cap sebagai laki-laki yang PHP. Ya semacam pencitraan, gue akhirnya memilih malam minggu. Menurut gue, malam minggu adalah malam yang cukup tepat untuk mengajak seseorang pergi ke luar rumah.

Setelah menentukan hari, gue mulai mencari-cari bulan yang tepat agar tidak menganggu jadwal menulis gue. akhirnya gue putuskan pada bulan februari. Ya, gue tidak pernah seperti ini sebelumnya. Gue memang terbilang jahat karena memberi waktu sisa untuk desi. Desi memang tidak bisa gue prioritaskan. Entahlah gue selalu merasa hambar ketika berkomunikasi dengannya walau hanya via chat.

Gue mendapat informasi dari mamah perihal usia desi. Katanya desi lebih tua ketimbang gue. gue pribadi adalah tipikal laki-laki yang tidak terlalu mempermasalahkan masalah usia. Jika memang tidak terlampau terlalu jauh untuk apa di permasalahkan? Usia kan tidak mempengaruhi tingkat kedewasaan. Ada yang usianya matang tapi masih bersikap seperti bocah. Ada juga yang usianya bocah tapi bersikap seperti layaknya orang dewasa. Usia bukanlah masalah. Yang menjadi pertimbangan adalah tentang kenyamanan.

Mamah gue selalu takut jika anaknya menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih tua. Alasannya sih klasik. “mamah takut cewenya ngelunjak. Kan dia lebih tua” gue dan bapak gue hanya bisa mentertawai mamah gue. Gue dan bpak sepakat bahwa ngelunjaknya seseorang adalah bukan tentang perihal ia lebih tua atau tidak. Tapi tentang didikan dari keluarganya. Gue selalu meyakini keluarga yang baik akan menghasilkan anak yang baik. begitupun sebaliknya, keluarga yang berantakan akan melahirkan anak yang berantakan pula. Sebenarnya Tuhan memanglah sangat adil dalam urusan kehidupan. Hanya saja terkadang kita yang tak mengerti dan tidak mau mengintrospeksi diri.

Gue bisa berpendapat demikian karena gue pernah menjalani sebuah hubungan dengan perempuan yang lebih tua dari gue. Memang waktu itu tanpa sepengetahuan mamah gue. Gue dan perempuan itu menjalani hubungan dengan sangat baik. Bahkan kami putus dengan baik. Dan saat ini hubungan kami baik-baik saja. Gue memaklumi akan perihal kekhawatiran mamah. Tapi gue berpikir desi adalah perempuan yang baik. Hanya saja gue tidak merasakan nyaman kala berkomunikasi via sosmed.

Sampai pada akhirnya waktu yang telah gue jadwalkan tiba juga. Bulan februari datang dengan hujan di tiap harinya. Baik pagi, siang, sore, dan malam. Februari kali ini terlihat begitu menyedihkan. Rintik hujan selalu menuntun gue untuk mengenang. Gue jadi teringat saat itu ada Pita yang menemani gue di kala hujan. Senyum Pita yang menggemaskan masih nampak jelas di ingatan. Hujan memang selalu membawa kenangan tersendiri buat gue pribadi. Dengan desi, semoga malam minggu hujan tidak datang. Karena cukup dengan Pita gue mengenang hujan.

“des, gue rasa kabar lu sudah membaik ya?” gue membuka obrolan ia chat

“iya nih alhamdulillah” balas desi singkat

“wah bisa ini mah kita nonton” gue hanya melemparkan kode

“hehehe yuk” lagi balas desi singkat

“beneran des? Yaudah jm 7 gue jemput” gue coba meyakinkan desi

“iya bener. Yaudah gue mau mandi dulu” balas desi sekaligus menutup obrolan

Gue tau, kencan pertama ini tak akan senyaman kala gue mengencani arina. Bukan berniat untuk membandingkan. Hanya saja ekspresi mereka berdua berbeda. Mungkin benar, mencoba apa salahnya. Gue pun memutuskan untuk mencoba. Pakaian yang gue kenakan sama sekali tidak mencerminkan kerapihan. Gue tampil seadanya. Gue tidak ingin membuat desi merasa “wah”. Gue sadar, gue menutup diri dengan desi sejak dalam pikiran.

Karena pakaian gue yang biasa saja, orang tua gue juga tidak curiga. Mereka hanya mengira gue hendak pergi nongkrong bersama teman-teman. Mereka tidak menanyakan gue hendak pergi kemana? Dengan siapa? Pokoknya malam minggu saa itu aman terkendali. Gue bisa bebas keluar rumah tanpa introgasi. Nasihat dari orang tua selalu ada. “kalo mau pulang pagi kabarin” mendengar kalimat itu dari mamah, gue hanya bisa mengangguk sambil tersenyum agar mamah tidak terlalu mengkhawatirkan gue.

Gue tidak menjemput desi kerumahnya, kami sepakat untuk bertemu di depan gang rumahnya saja. awalnya desi memang menyuruh gue menjemput kerumahnya agar bisa bertemu ibunya. Namun gue beralasan tidak tau rumahnya dan tidak tau jalan masuk ke gangnya. Pokoknya gue terus beralasan agar tidak bertemu dengan ibunya. Rasa malu masih menyelimuti hati gue pada saat itu.

Pukul tujuh lebih lima belas menit gue sampai di depan gang rumahnya. Gue telat karena harus berhadapan dengan antrian yang panjang di pom bensin. Tidak ada tanda-tanda hujan akan datang. Gue hanya bisa berdo’a cuaca akan terus seperti ini sampai gue sampai rumah nanti. Terlihat ramai di depan gang rumah desi. Gue mengira ada acara resepsi pernikahan, namun setelah gue mendekati ternyata hanya ada sebuah pasar malam saja. Sial

“des dimana? Gue udah depan gang rumah lu nih” gue memulai chat

“oh iya tunggu ya” balas

Desi menghampiri gue di tengah keramaian pasar malam dengan pakaian yang mungkin terbaik untuknya. Begitu juga bagi gue. desi terlihat cantik dengan pakaian yang di kenakannya. Gue melambaikan tangan ke arahnya dengan senyuman teranis. Mungkin desi hanya melihat lambaian tangan gue saja. Senyum gue mungkin terhalang oleh cahaya. Karena kulit gue yang gelap, pada malam hari sulit untuk menebar senyum kepada seseorang.

Seperti biasa, gue sedikit canggung untuk memulai obrolan dengan orang baru. Sama seperti dengan pita. Di dalam perjalanan, kami lebih sering diam. Sesampainya di lobby bioskop, kami lebih sering membunuh waktu dengan cara memandang gadget masing-masing. Entah desi sibuk dengan siapa. Yang pasti gue hanya bisa berpura-pura sibuk dengan cara menaik-turunkan notifikasi di smartphone. Bukan karena dengan desi, dirumah pun gue lebih sering melakukan hal yang serupa. Karena bagi seorang jomblo yang elegan. Handphone bergetar pada saat-saat tertentu saja, bukan setiap hari. (membela diri)

Sebelum film di mulai, gue mulai berani memulai percakapan. Tentu saja gue membuat pertanyaan-pertanyaan dasar seputar identitas dan keseharian desi. Gue kaget karena desi sudah bekerja lebih lama ketimbang gue. pantas saja ia mengenal mamah gue. Desi hanya lulusan SMP. Ia terlalu senang bekerja ketimbang melanjutkan sekolahnya. Sangat di sayangkan sih memang. Tapi gue enggak bisa berbuat banyak dengan keputusan dia. Yang bisa gue lakukan hanyalah mengangguk sambil tersenyum.

Film yang kami tonton memang kebetulan bergenre horror. Judulnya “don’t knock twice”. Gue penasaran dengan alurnya. Karena dari judulnya saja sudah sangat membuat penasaran. Ketika menonton film horror, jujur gue lebih sering menutup mata ketimbang bersandar di pundak orang lain. Namun desi nampaknya ingin memberikan suasana yang tidak canggung, desi sering mengagetkan gue dengan cara menoel siku atau memukul pundak agar gue kaget. Desi memang tidak takut dengan suasananya. Desi hanya takut bila sang tokoh hantunya di zoom. Ia berkata demikian sebelum film di mulai.

Selepas nonton, hujan menahan kami untuk pulang. Ada waktu yang panjang yang kami miliki berdua. Namun sayang, gue tidak bisa memaksimalkan waktu itu dengan baik. Gue sangat tidak nyaman dengan sikap desi yang suka mengatur dan egois. Sebagai orang baru desi sudah bisa bersikap seperti itu, apalagi sudah lama mengenal gue. mungkin desi juga merasa tidak nyaman dengan sikap gue yang dingin. Tapi itulah yang gue harapkan. Gue harap desi merasa tidak nyaman. Karena dengan seperti itu gue jadi merasa lega untuk menjauh darinya.


Walau hujan tak begitu reda, kami sepakat untuk pulang. Rintik hujan yang manja menemani perjalanan kami pada saat itu. Sekitar 10 KM sudah terlewati, hujan benar-benar reda. Gue bersyukur akan hal itu. Gue kasian kepada desi bila harus hujan-hujanan sampai rumah. Kami akhirnya berhenti di sebuah tempat makan pinggir jalan. Tidak lain adalah tukang nasi goreng. Gue sudah berjanji untuk membelikannya seusai nonton. Desi pun menagih hal tersebut. Malam minggu pada saat itu memang berwarna. Walau tidak terang, setidaknya malam minggu gue tidak gelap seperti biasanya. Dan semoga desi adalah awal dari warna-warna lain yang akan hadir. Semoga......

2 komentar: