Malam minggu identik dengan malamnya para pasangan. Gue juga
enggak pernah ngerti asalnya dari mana. Mungkin karena besoknya hari minggu
alias hari libur, maka dari itulah para pasangan berbondong-bondong pergi ke
tempat-tempat gelap. Gue yang mempunyai status sebagai jomblo elegan merasakan
pedih yang amat mendalam. Pasalnya gue hanya bisa berdiam diri dirumah. Nulis,
denger musik, nonton film bokep horror, main futsal. Ya semua kegiatan
itu gue lakukan sendiri di dalam rumah. Berbeda ketika pada saat gue punya
pacar dalam beberapa bulan yang lalu. Gue sibuk menampankan diri demi bertemu
sang pujaan hati. Yang jelas malam minggu gue kelabu semenjak patah hati.
Tapi setelah patah hati, gue mulai menemukan jati diri
kembali. Gue kembali mencari yang tentunya lebih baik dari yang telah
mematahkan hati gue pada saat itu. Walau kadang masih belum siap untuk patah
hati lagi, tapi jika gue tidak bergerak, gue akan tertinggal jauh olehnya yang
mungkin pada saat ini sudah bahagia dengan mantan kesayangannya. Petuah pepatah
yang mengatakan “mati satu tumbuh seribu” mulai gue rasakan kebenarannya. Ada
beberapa perempuan yang mempunyai respon positif untuk gue ajak jalan. Salah
satunya adalah teman mamah gue sendiri.
Gue sontak terkejut bahwa dia adalah teman mamah gue bekerja
dahulu, karena saat ini mamah gue sudah lagi tidak bekerja di pabrik. Gue coba
menunjukan foto perempuan itu ke mamah gue. Dan ternyata memang benar mamah gue
mengenalinya. Sebut saja desi. Dari fotonya ia memang terlihat cantik dengan
rambut yang terurai. Senyumnya pun tak kalah manis bak gula jawa yang di jual
di pinggir jalan.
Tak kenal maka tak sayang. Tak bertemu maka tak rindu.
Sebagai seorang laki-laki yang masuk dalam kategori playboy, gue benar-benar
merasa aneh dengan desi. Biasanya, perempuan cantik sepertinya tidak pernah gue
lewatkan sejengkalpun dari perhatian. Tapi untuk desi, gue merasa sangat biasa.
Memang ada rasa ingin bertemu. Ingin menatap matanya secara langsung. Bahkan bila
perlu gue juga ingin berbicara tenang banyak hal dengannya. Tapi desi
benar-benar biasa. Gue merasa desi bukan tipe perempuan yang selalu gue sebut
dalam do’a.
Dalam beberapa waktu, desi memang kerap menanyakan “kapan kita bertemu?” tapi gue selalu
menjawab nanti, nanti, dan nanti. Gue benar-benar seperti kehilangan selera
dalam bertemu dengan perempuan. Gue seolah lupa dengan cara membuat janji
dengan perempuan. Gue sangat sulit memberi kepastian kepada desi.
Selang dua minggu pasca perkenalan via sosmed, desi
kelihatan sedang sakit. Ia di kabarkan tidak masuk kerja sehari. Ini sebenarnya
moment gue dalam mengambil kesempatan untuk menjenguknya sekaligus bertemu
dengannya.
“sakit apa des?”
tanya gue tanpa basa-basi sekaligus memulai chat
“biasa nih. Lagi di
kerokin ini juga” desi membalas
“oh yaudah GWS ya des.
Banyak istirahat. Biar bisa kerja lagi terus kita maen deh. Ehehehe” balas
gue dengan memberi harapan
“haha iya iya.
Makasih. Yaudah gua mau istirahat dulu yaw” balas desi sekaligus menutup
chat kami
Sejujurnya gue ingin membalas “masama des” namun gue dikalahkan oleh ego sendiri. Akhirnya pesan
itu hanya gue hapus dan kembali menaruh handphone di kasur. Gue kembali
mengatur rencana untuk bertemu dengan desi. Gue terpaksa harus menemuinya
karena tidak ingin di cap sebagai laki-laki yang PHP. Ya semacam pencitraan, gue
akhirnya memilih malam minggu. Menurut gue, malam minggu adalah malam yang
cukup tepat untuk mengajak seseorang pergi ke luar rumah.
Setelah menentukan hari, gue mulai mencari-cari bulan yang
tepat agar tidak menganggu jadwal menulis gue. akhirnya gue putuskan pada bulan
februari. Ya, gue tidak pernah seperti ini sebelumnya. Gue memang terbilang
jahat karena memberi waktu sisa untuk desi. Desi memang tidak bisa gue
prioritaskan. Entahlah gue selalu merasa hambar ketika berkomunikasi dengannya
walau hanya via chat.
Gue mendapat informasi dari mamah perihal usia desi. Katanya
desi lebih tua ketimbang gue. gue pribadi adalah tipikal laki-laki yang tidak
terlalu mempermasalahkan masalah usia. Jika memang tidak terlampau terlalu jauh
untuk apa di permasalahkan? Usia kan tidak mempengaruhi tingkat kedewasaan. Ada
yang usianya matang tapi masih bersikap seperti bocah. Ada juga yang usianya
bocah tapi bersikap seperti layaknya orang dewasa. Usia bukanlah masalah. Yang
menjadi pertimbangan adalah tentang kenyamanan.
Mamah gue selalu takut jika anaknya menjalin hubungan dengan
perempuan yang lebih tua. Alasannya sih klasik. “mamah takut cewenya ngelunjak. Kan dia lebih tua” gue dan bapak
gue hanya bisa mentertawai mamah gue. Gue dan bpak sepakat bahwa ngelunjaknya
seseorang adalah bukan tentang perihal ia lebih tua atau tidak. Tapi tentang
didikan dari keluarganya. Gue selalu meyakini keluarga yang baik akan
menghasilkan anak yang baik. begitupun sebaliknya, keluarga yang berantakan
akan melahirkan anak yang berantakan pula. Sebenarnya Tuhan memanglah sangat
adil dalam urusan kehidupan. Hanya saja terkadang kita yang tak mengerti dan
tidak mau mengintrospeksi diri.
Gue bisa berpendapat demikian karena gue pernah menjalani
sebuah hubungan dengan perempuan yang lebih tua dari gue. Memang waktu itu
tanpa sepengetahuan mamah gue. Gue dan perempuan itu menjalani hubungan dengan
sangat baik. Bahkan kami putus dengan baik. Dan saat ini hubungan kami
baik-baik saja. Gue memaklumi akan perihal kekhawatiran mamah. Tapi gue
berpikir desi adalah perempuan yang baik. Hanya saja gue tidak merasakan nyaman
kala berkomunikasi via sosmed.
Sampai pada akhirnya waktu yang telah gue jadwalkan tiba
juga. Bulan februari datang dengan hujan di tiap harinya. Baik pagi, siang,
sore, dan malam. Februari kali ini terlihat begitu menyedihkan. Rintik hujan
selalu menuntun gue untuk mengenang. Gue jadi teringat saat itu ada Pita yang
menemani gue di kala hujan. Senyum Pita yang menggemaskan masih nampak jelas di
ingatan. Hujan memang selalu membawa kenangan tersendiri buat gue pribadi.
Dengan desi, semoga malam minggu hujan tidak datang. Karena cukup dengan Pita
gue mengenang hujan.
“des, gue rasa kabar
lu sudah membaik ya?” gue membuka obrolan ia chat
“iya nih
alhamdulillah” balas desi singkat
“wah bisa ini mah kita
nonton” gue hanya melemparkan kode
“hehehe yuk” lagi
balas desi singkat
“beneran des? Yaudah
jm 7 gue jemput” gue coba meyakinkan desi
“iya bener. Yaudah gue
mau mandi dulu” balas desi sekaligus menutup obrolan
Gue tau, kencan pertama ini tak akan senyaman kala gue
mengencani arina. Bukan berniat untuk membandingkan. Hanya saja ekspresi mereka
berdua berbeda. Mungkin benar, mencoba apa salahnya. Gue pun memutuskan untuk
mencoba. Pakaian yang gue kenakan sama sekali tidak mencerminkan kerapihan. Gue
tampil seadanya. Gue tidak ingin membuat desi merasa “wah”. Gue sadar, gue menutup diri dengan desi sejak dalam pikiran.
Karena pakaian gue yang biasa saja, orang tua gue juga tidak
curiga. Mereka hanya mengira gue hendak pergi nongkrong bersama teman-teman.
Mereka tidak menanyakan gue hendak pergi kemana? Dengan siapa? Pokoknya malam
minggu saa itu aman terkendali. Gue bisa bebas keluar rumah tanpa introgasi.
Nasihat dari orang tua selalu ada. “kalo
mau pulang pagi kabarin” mendengar kalimat itu dari mamah, gue hanya bisa
mengangguk sambil tersenyum agar mamah tidak terlalu mengkhawatirkan gue.
Gue tidak menjemput desi kerumahnya, kami sepakat untuk
bertemu di depan gang rumahnya saja. awalnya desi memang menyuruh gue menjemput
kerumahnya agar bisa bertemu ibunya. Namun gue beralasan tidak tau rumahnya dan
tidak tau jalan masuk ke gangnya. Pokoknya gue terus beralasan agar tidak
bertemu dengan ibunya. Rasa malu masih menyelimuti hati gue pada saat itu.
Pukul tujuh lebih lima belas menit gue sampai di depan gang
rumahnya. Gue telat karena harus berhadapan dengan antrian yang panjang di pom
bensin. Tidak ada tanda-tanda hujan akan datang. Gue hanya bisa berdo’a cuaca
akan terus seperti ini sampai gue sampai rumah nanti. Terlihat ramai di depan
gang rumah desi. Gue mengira ada acara resepsi pernikahan, namun setelah gue
mendekati ternyata hanya ada sebuah pasar malam saja. Sial
“des dimana? Gue udah
depan gang rumah lu nih” gue memulai chat
“oh iya tunggu ya”
balas
Desi menghampiri gue di tengah keramaian pasar malam dengan
pakaian yang mungkin terbaik untuknya. Begitu juga bagi gue. desi terlihat
cantik dengan pakaian yang di kenakannya. Gue melambaikan tangan ke arahnya
dengan senyuman teranis. Mungkin desi hanya melihat lambaian tangan gue saja.
Senyum gue mungkin terhalang oleh cahaya. Karena kulit gue yang gelap, pada
malam hari sulit untuk menebar senyum kepada seseorang.
Seperti biasa, gue sedikit canggung untuk memulai obrolan
dengan orang baru. Sama seperti dengan pita. Di dalam perjalanan, kami lebih
sering diam. Sesampainya di lobby bioskop, kami lebih sering membunuh waktu
dengan cara memandang gadget masing-masing. Entah desi sibuk dengan siapa. Yang
pasti gue hanya bisa berpura-pura sibuk dengan cara menaik-turunkan notifikasi
di smartphone. Bukan karena dengan desi, dirumah pun gue lebih sering melakukan
hal yang serupa. Karena bagi seorang jomblo yang elegan. Handphone bergetar
pada saat-saat tertentu saja, bukan setiap hari. (membela diri)
Sebelum film di mulai, gue mulai berani memulai percakapan. Tentu
saja gue membuat pertanyaan-pertanyaan dasar seputar identitas dan keseharian
desi. Gue kaget karena desi sudah bekerja lebih lama ketimbang gue. pantas saja
ia mengenal mamah gue. Desi hanya lulusan SMP. Ia terlalu senang bekerja
ketimbang melanjutkan sekolahnya. Sangat di sayangkan sih memang. Tapi gue
enggak bisa berbuat banyak dengan keputusan dia. Yang bisa gue lakukan hanyalah
mengangguk sambil tersenyum.
Film yang kami tonton memang kebetulan bergenre horror. Judulnya
“don’t knock twice”. Gue penasaran
dengan alurnya. Karena dari judulnya saja sudah sangat membuat penasaran. Ketika
menonton film horror, jujur gue lebih sering menutup mata ketimbang bersandar
di pundak orang lain. Namun desi nampaknya ingin memberikan suasana yang tidak
canggung, desi sering mengagetkan gue dengan cara menoel siku atau memukul
pundak agar gue kaget. Desi memang tidak takut dengan suasananya. Desi hanya
takut bila sang tokoh hantunya di zoom. Ia berkata demikian sebelum film di
mulai.
Selepas nonton, hujan menahan kami untuk pulang. Ada waktu
yang panjang yang kami miliki berdua. Namun sayang, gue tidak bisa memaksimalkan
waktu itu dengan baik. Gue sangat tidak nyaman dengan sikap desi yang suka
mengatur dan egois. Sebagai orang baru desi sudah bisa bersikap seperti itu,
apalagi sudah lama mengenal gue. mungkin desi juga merasa tidak nyaman dengan
sikap gue yang dingin. Tapi itulah yang gue harapkan. Gue harap desi merasa
tidak nyaman. Karena dengan seperti itu gue jadi merasa lega untuk menjauh
darinya.
Walau hujan tak begitu reda, kami sepakat untuk pulang. Rintik
hujan yang manja menemani perjalanan kami pada saat itu. Sekitar 10 KM sudah
terlewati, hujan benar-benar reda. Gue bersyukur akan hal itu. Gue kasian
kepada desi bila harus hujan-hujanan sampai rumah. Kami akhirnya berhenti di
sebuah tempat makan pinggir jalan. Tidak lain adalah tukang nasi goreng. Gue sudah
berjanji untuk membelikannya seusai nonton. Desi pun menagih hal tersebut. Malam
minggu pada saat itu memang berwarna. Walau tidak terang, setidaknya malam
minggu gue tidak gelap seperti biasanya. Dan semoga desi adalah awal dari
warna-warna lain yang akan hadir. Semoga......
Krick��
BalasHapusKrick��
BalasHapus