Lima
belas menit sebelum keberangkatan, mamah gue berpesan. “bekalnya dimakan ya ndri. Itu kan makanan kesukaan kamu” ucap
mamah gue sambil membenarkan baju gue yang miring. Gue hanya mengangguk. Raut
wajahnya terlihat sangat sedih ketika gue memutuskan untuk pergi ke bekasi
selama beberapa minggu. Dia mungkin memikirkan gue akan ngekos dimana? Dia
mungkin memikirkan bagaimana dengan pekerjaan gue yang jauh? dia mungkin
memikirkan apakah gue tetap menjadi anak baik?
Sebelum
mamah mengizinkan, sempat ada perdebatan diantara kami berdua. Mamah berpikir
gue gila.
Ia menganggap bahwa tidak seharusnya gue pergi ke bekasi hanya karena
putus cinta dari Arina. Namun keputusan gue sudah bulat. Papah gue mengatakan “hati-hati saja disana. Jika kamu rindu
kami. Rumah ini tetap menjadi tempat untuk kamu pulang.” Lagi-lagi gue
hanya bisa mengangguk. Mamah gue akhirnya pasrah dengan keputusan gue.
“bisnya udah dateng mah, andry ke dalem
ya”
ujar gue sambil memegang tangan mamah “mamah
baik-baik ya dirumah. Andry cuma sebentar kok. Paling Cuma beberapa minggu
doang. Kan tabungan cuma dikit. Hehehe” sambung gue sambil nyengir-nyengir
guna membuat mamah tenang.
“yaudah hati-hati ya. Kabarin kalo udah
sampe sana” ucapnya sambil merapikan rambut gue yang
katanya terlihat berantakan. Gue akhirnya masuk ke dalam bis dengan sangat
antusias. Gue senang bisa meninggalkan tangerang yang penuh dengan kenangan
pahit. Gue juga senang karena mungkin gue akan menemukan orang-orang baru di
bekasi. Yang mungkin lebih seru, lebih asik, atau bahkan lebih suka nulis
ketimbang gue. Walau dalam hati memang masih berat untuk meninggalkan
teman-teman lama seperjuangan. Tapi gue selalu berpikir gue cuma sebentar di
sana. Gue hanya ingin menghilangkan segala penat yang terjadi di tangerang.
Lambaian
tagan mamah gue mengiringi keberangkatan bis yang gue tumpangi saat itu. Gue
pun membalas dengan lamabaian tangan kembali. Perlahan-lahan sosok mamah yang
begitu baik hilang di terpa jarak. Gue kadang merasa berdosa karena tidak
memberitahukan adik gue terkait perihal ini. gue enggak mau adik gue nangis. Mamah
juga berjanji untuk merahasiakannya sampai gue benar-benar sampai di bekasi
dengan selamat. Kesedihan mengiringi gue saat itu......
Rintik
hujan menemani gue di sepanjang perjalanan. Hujan datang dengan begitu banyak
kenangan. Gue hanya bisa mengenang masa-masa indah bersama Arina. Masih sangat
terekam jelas wajahnya yang begitu menggemaskan. Kadang pula teringat tentang
segala perjuangan yang telah gue berikan. Namun semuanya sirna. Gue sekarang
menjadi orang yang paling sangat membencinya. Gue mungkin adalah satu-satunya
orang yang tidak pernah ingin melihatnya kembali. Orang yang dulu pernah gue
banggakan, kini harus berakhir dengan kebencian.
Kurang
lebih sekitar tiga jam di bis. Gue akhirnya sampai di bekasi. Karena pertama kalinya ke bekasi,
gue diharuskan bertanya pada orang-orang sekitar. Gue cukup kaget dengan dialeg
bahasa yang di gunakan. Berbeda dengan tangerang. Gue benar-benar harus
membiasakan diri berlaku sopan. Karena di tangerang gue terbiasa spontan bila
berbicara dengan orang lain. Jadi orang baru memang sangat sulit untuk menerima
perbedaan. Tapi gue yakin seiring berjalannya waktu gue akan terbiasa. Bahkan
untuk hal-hal yang mungkin baru gue dapatkan disini. Semisal gue harus lapor
RT/RW.
Gue
juga sebenarnya enggak tau akan menuju dan tinggal dimana. Karena hari sudah
mulai malam gue akhirnya berhenti di sebuah desa. Tidak berbeda jauh dengan
tangerang. banyak rumah-rumah kos-kosan juga. Karena mungkin letaknya dekat
dengan pabrik. Gue akhirnya memutuskan untuk tinggal di desa tersebut. Dengan
bekal seadanya mungkin inilah pertama kalinya gue merasa sangat kesepian.
Biasanya gue bersenda gurau bersama keluarga. Gue kembali berpikir apakah
keputusan yang gue ambil ini salah? Tapi ah gue masih ingin mencoba beberapa
hari. Gue merasa gue hanya belum terbiasa.
Karena
gue datang pada malam hari, gue pun belum mengenali para tetangga. Hingga
akhirnya datanglah fajar dari ufuk timur. Pagi hari gue sambut dengan sangat
ceria. Pasalnya gue tidak bekerja. Gure mengambil cuti selama 2 hari. Gue
melihat lingkungan sekekeliling sudah sangat sibuk guna menjalani aktifitas.
Para tetangga gue akhirnya menampakan dirinya. Betapa kagetnya gue ketika
melihat seorang perempuan cantik berseragam mayora keluar dari rumah
kos-kosannya. Ia bergegas berangkat karena mungkin ia akan terlambat. Gua yang
senang emandanginya akhirnya harus menemukan jeda.
Perempuan
di pagi hari itu sangat membuat gue penasaran. Gue coba menanyakan tentang
perempuan itu kepada teman baru gue temukan di kosan. Sebut saja deni. Perawakannya
seperti orang china. Bermata sipit, kulitnya putih. Hanya saja memiliki postur
tubur yang besar alias gendut. Ia mengingatkan kepada sahabat gue yang ada di
tengerang. Deni sudah satu tahun lebih ngekos disini. Ia bekerja di salah satu
perusahaan otomotif yang gue lupa namanya.
“den, kenal cewek yang ngekos di sebelah
kita enggak?” tanya gue dengan sambil nyengir-nyengir ke
arahnya. Mungkin dia akan menganggap gue gila.
“oh yuni? Rambutnya panjang di kuncir kan?
Kaya kuda gitu. Hahahaha” deni menjawab dengan bercanda.
“eh serius den. Plisss kasih tau gue
tentang dia” gue merengek-rengek seperti bayi
“dia tuh sebenernya mantan gue ndry.” Deni
menjawab dengan ekspresi sedih. Seolah ada kenangan buruk yang terjadi diantara
mereka berdua.
“hah apa lu bilang? Dia mantan lu? Coba
ntar gua tanya langsung ke orangnya. Gak percaya gue den.” Gue
merasa terheran-heran
“eh jangan anjer. Ahahaha gue bercanda.
Dia cewek galak ndry. Ini gue serius ya temen gua aja yg deketin dia pernah di
siram air. Padahal temen gue cuma bilang dia cantik. Katanya kalo ngegombal
bukan disini. Tapi di jalanan.” Jelas deni kepada gue.
“whattt? Gitu doang di siram air? Fix gue
makin penasaran den. Oke terima kasih atas infonya kawan” gue
menyudahi perbincangan karena deni yang terihat sedang siap-siap berangkat ke
pabriknya.
Informasi
yang gue dapatkan dari deni memang masih di bilang belum cukup. Gue hanya tau
nama dan sikapnya kepada laki-laki. Gue belum tau tentang hobinya, gue belum
tau tentang makanan kesukaannya, Gue juga belum tau mengapa di sampai segalak
itu dengan laki-laki. Gue yakin ada yang salah dengan psikologi si yuni ini.
Gue memutuskan untuk mencari tahunya sendiri.
Sampai
pada akhirnya senja pun tiba. Tapi yuni tetap saja tak kunjung menampakan atang
hidungnya. Gue yang duduk di depan kosan selama kurang lebih tiga puluh menit,
hanya bisa memandangi senja yang pamit untuk segera pergi. Sugesti positif gue
mengatakan bahwa yuni mungkin lembur. Di tambah deni juga yang belum pulang
membuat gue kembali merasakan kesepian
Selepas
meghrib gue kembali keluar dan duduk di depan kosan. Menunggu yuni mungkin
memang perlu kesabaran. Akhirnya benar, tidak lama gue memandang langit malam.
Yuni pulang dengan di antar oleh seorang laki-laki menggunakan motor ninja.
Yuni benar-benar membuat gue kecewa. Gue yang jelas memperhatikannya sangat
terpukul. Pertanyaan-pertanyaan seputar laki-laki itu pun terintas di dalam
benak gue. apakah laki-laki itu pacarnya? gebetan? Atau sepupunya?
Lamunan
gue terhenti saat deni mengucap salam. Deni pulang dengan tampak kelelahan. “biasa ndry, dia emang suka di anter cowok
kalo pulang kerja” deni langsung membisikan kalimat itu ke kuping gue. deni
tau gue sedang memperhatikan yuni dengan laki-laki itu. Deni langsung berjalan
masuk ke dalam kosan. Sementara gue tetap duduk di depan kosan dengan
memikirkan apa yang di katakan deni semenit yang lalu.
Tak lama,
gue melihat Yuni keluar kosan. Ia benar-benar keluar dan berjalan menuju suau
tempat. Mungkin tempat makan. Gue dengan segala mental seadanya bergegas
membuntutinya. “mbak, mbak” gue coba
memanggil yuni yang sedang berjalan di depan gue. Namun yuni tetap pada
pandangannya kedepan. Ia enggan menoleh ke belakang. Malah langkah kaki yuni
semakin kencang. Mungkin yuni takut jika suara tadi adalah suara suzana yang
ingin membeli sate.
“mbak yang di depan, tunggu. Saya manusia
mbak buka setan” gue coba menyusulnya dengan berlari
“eh elu. Gua kira siapa. Hahahaha maaf ya.
Lu anak baru di kosan sebelah kan?” yuni tertawa sambil
memelankan langkahnya
“iya mbak gpp. Wajar sih malem-malem gini
kalo tiba-tiba ada suara yang manggil kan horror juga. Hehehe iya mbak baru
sehari” jawab gue cengengesan.
Belum sempat
banyak berbincang, yuni menghentikan langkah kakinya. Ia berhenti di suatu
tempat makan yang menjual nasi goreng, kue tiaw, dan mie rebus. Gue pun
mengikutin dia untuk makan di tempat itu.
“lu mau makan juga?” tanya
yuni kepada gue dengan ekspresi datar
“iya mbak. Kebetulan emang laper sih” jawab
gue
“oh gitu.” Ujar yuni
singkat. “Bang nasi goreng satu ya. Biasa
jangan pedes” teriak yuni kepada sang penjual
“bang satu lagi nasinya. Jangan pedes juga”
tambah gue singkat.
Gue dan
Yuni duduk bersandingan ibarat pasangan pengantin. Ada hening yang panjang di
tengah-tengah berisiknya suara gas abang nasgor. Gue bingung harus memulai
permbicaraan seperti apa. Sedangkan yuni sibuk memainkan handphonennya. Mungkin
sedang membalas pesan pacarnya. atau mungkin sedang membuat status path yang
bertuliskan “nasi goreng langganan
bersama orang asing”
“mbak, udah sering makan disini ya?” ujar
gue memecah keheningan
“iya gitu. Soalnya nasi gorengnya enak
ketimbang yang lain” jelas yuni
Gue hanya
bisa mengangguk kecil dan kembali bingung ingin menanyakan apa. Berada di dekat
yuni seperti ini membuat jantung gue berdebar. Pasalnya yuni adalah cewek galak
kata deni. Gue takut ketika gue salah nanya, gue bisa di getok pake tabung gas
3kg.
“oh iya lu kok bisa sih nyasar ke sini
cong? Mau nyari kerja atau gimana?” kali ini yuni memecah
keheningan
“oh soal itu. Saya iseng aja sih mbak
pengen refresh dari kota tangerang. Udh banyak banget kepedihan-kepedihan yang
saya rasakan disana.” Jelas gue dengan ekpresi murung
“hah? Maksudnya?” yuni
bingung
“jadi saya baru aja putus mbak karena si
cewek lebih milih balikan sama mantannya” jawab gue ketus
“hah? Hahahahahaha jadi lu kesini cuma buat
pergi? Lu galau? Yaelah cong cong. Hahahahaha” yuni
puas mentertawakan gue
“hehehehe ya abis saya bingung mbak. Keadaan
hati saya kacau banget” jelas gue
“cong, lu tau kan indonesia ada 33
provinsi. Nah di tiap provinsi itu pasti ada ceweknya. Jadi buat apa galau-in
cewek begitu?” yuni memberikan pencerahan
“tapi kan mbak, ngilangin kebiasaan yang
udah terjaga gak semudah nengokin kepala” ujar gue
Yuni lagi-lagi
tertawa. Entah apa yang lucu gue enggak ngerti. Tak lama nasi goreng kami pun
datang. Gue dan yuni menemukan jeda berbincang karena kami berdua fokus kepada
makan. Di sela-sela menikmati makan, gue berpikir dan coba meng-iyakan dua buah
kebenaran. Yang pertama, gue setuju jika nasi gorengnya enak. Yang kedua gue
setuju apa yang di katakan yuni. Masih banyak perempuan baik lainnya yang bisa
gue temui di 33 provinsi di indonesia. Gue rasa ini adalah awal yang baik untuk terus berbincang dengan Yuni
To Be
Continue..................
Lanjutkan dry...
BalasHapusMakasih nan. Tunggu aja. Ini lagi di garap
Hapusnasi gorengnya murah yah pasti , pasti nasinya ga di itung kan buahahahaha
HapusMahal bang itu. Hahahaha
Hapus