Terkadang aku selalu
ingat tentangmu, tentang kita berdua. Semua kenangan yang telah kita lewati
berdua, terekam jelas oleh otakku yang minimalis ini. Kamu yang mungkin sudah
bahagia dengannya, masih tetap indah di hati ini. Aku benar-benar tidak menaru
dendam terhadapmu. Aku juga tidak menaruh rasa iri dengki terhadap
kebahagiaanmu dengannya. Namun rasa benci, jujur akan tetap ada. Kebencian inilah
yang selalu menguatkanku untuk tidak terlalu kepo denganmu.
Kebencian ini tertanam
hanya semata-mata pengalihan terhadap pertanyaan besar yang sering mengganggu
otakku. Mengapa harus aku yang di jadikan pelarian? Mengapa bukan pria lain
yang mungkin lebih jahat? Apakah aku terlalu baik? atau mungkin aku yang
terlalu bodoh hingga tak sadar bahwa dari awal kamu hanya mengincar kebaikanku?
Kamu pernah bercerita,
panjang sekali, tentang orang yang menjadikanmu sebagai tempat pelarian, lebih
tepatnya anak jurusan psikolog di kampusmu. Apakah aku hanya sebagai objek
pembalasan dendammu semata? Atau memang aku yang tak sadar dengan strategimu? Pertanyaan-pertanyaan
bodoh itu terus mengahntui aku sebelum tidur. Siksaan yang kau berikan memang
belum terlalu hebat jika di bandigkan dengan siksa Tuhan. Namun aku tetap saja
tersiksa.
Mamah bertanya “mengapa
kalian putus?” papah pun menanykan hal yang sama. Mereka curiga dengan
hilangnya barang-barang yang pernah kamu berikan. “dia lebih menyayangi
mantannya ketimbang aku mah, pah” jawabku dengan menunduk. Aku tak mau mereka
melihat air mata di pipi anaknya.
Pasca kata perpisahan
darimu yang cukup perih, aku menyesal pernah meneteskan air mata untukmu. Air mata
ini harusnya aku tujukan kepada Tuhan sebagai penebusan dosa-dosa yang telah aku
lakukan selama 21 tahun hidup di dunia. Pengorbanan penuh yang telah aku beri
saat itu kini hanya bisa aku sesali di sela-sela waktu senggang. Semoga kebahagiaanmu
yang memotivasiku untuk tetap berkarya. Semoga kebahagiaanmulah yang bisa
membawaku terbang menuju impian sebenarnya, yaitu menjadi penulis.
Selamat malam, kamu yang
pernah singgah di hati. Pesanku hanya satu.
“Jika
Tak Berniat Mewarnai Hidup Seseorang, Jangan Pudarkan Warna Aslinya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar